Kamis, 14 April 2011

Resensi Buku (ESQ by Ary Ginanjar Agustian)

ESQ (Emosional Spiritual Quotient) oleh Ary Ginanjar Agustian
ESQ : Emosional Spiritual Quotient
Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam
Penerbit : Arga (305 hal)

Membaca buku ini, seperti menguak tabir rahasia tentang adanya korelasi yang sangat kuat antara dunia usaha, profesionalisme dan manajemen modern, dalam hubungannya dengan intisari Islam, yaitu Rukun Iman dan Rukun Islam

Penulis buku ini, Ary Ginanjar, adalah seorang pengusaha muda yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal mengenai keagamaan atau psikologi. Ia mendalami bidang keagamaan dengan mandiri melalui metode “kemerdekaan berpikir”. Dalam buku ini, ia berusaha menggabungkan Emotional Intelligence (EQ) yang didasari dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya (SQ), sehingga menghasilkan ESQ : Emosional Spiritual Quotient. Ary Ginanjar memaparkan pemikirannya melalui sebuah ESQ model,


Pada bagian satu (Zero Mind Process-Penjernihan Emosi), penulis mengharapkan pembaca dapat berpikir secara jernih terlepas dari belenggu pemikiran yang selama ini menghalangi kecerdasan emosi manusia. Hasil dari penjernihan emosi ini dinamakan “God-Spot”

penulis menjabarkan mengenai cara membangun alam berpikir dan emosi secara sistematis berdasarkan Rukun Iman yang diperkenalkan dengan istilah Enam Prinsip, yaitu:
Star Principle – Prinsip Bintang (Iman kepada Allah)
Angle Principle – Prinsip Matahari (Iman kepada Malaikat)
Leadership Principle – Prinsip Kepemimpinan (Iman kepada Nabi dan Rasul)
Learning Principle – Prinsip Pembelajaran (Iman kepada Al Quran)
Vision Principle – Prinsip Masa Depan (Iman kepada Hari Kemudian)
Well Organized Principle – Prinsip Keteraturan (Iman kepada Ketentuan Allah)

RESENSI NOVEL: Membaca Kisah Hidup Ibnu Sina

tugas mata kuliah bahasa indonesia 2
Oleh : abas nurrahman
Judul Buku: Tawanan Benteng Lapis Tujuh (Novel Biografi Ibnu Sina)
Penulis: Husayn Fattahi
Penerbit: Penerbit Zaman, Jakarta
Cetakan: I, 2011 Tebal: 296 halaman

Mungkin sebagian kita kurang begitu populer dengan nama Ibnu Sina (908-1037 M). Namun demikian, zaman tak mungkin bisa melupakan nama ini. Ibnu Sina telah ditakdirkan mengabadi melintasi zaman. Ia memang seorang tokoh besar. Reputasinya diakui di mata dunia. Di Barat, Ibnu Sina populer dengan nama Avicenna. Ia menghasilkan begitu banyak karya tulis, salah satunya adalah al-Qanun fi at-Thibb atau juga disebut Canon of Medicine. Tak hanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris, al-Qanun fi at-Thibb karya Ibnu Sina juga diterjemahkan dalam pelbagai bahasa, seperti bahasa Ibrani, Latin, Perancis, Spanyol, Italia, dan sebagainya.

Buku Ibnu Sina al-Qanun fi at-Thibb tak bisa dimungkiri pernah menjadi rujukan utama para akademisi kedokteran di dunia Timur dan Barat. Philip K. Hitti menuturkan, “Teks berbahasa Arab dari buku al-Qanun fi at-Thibb diterbitkan di Roma pada tahun 1593, dan kemudian menjadi salah satu buku berbahasa Arab tertua yang pernah diterbitkan. Diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke-12, buku tersebut, dengan seluruh kandungan ensiklopedisnya, susunannya yang sistematis, dan penuturannya yang filosofis, segera menempati posisi penting dalam literatur kedokteran masa itu, menggantikan karya-karya Galen, al-Razi, dan al-Majuzi, serta menjadi buku teks pendidikan kedokteran di sekolah-sekolah Eropa. Pada 30 tahun terakhir abad ke-15, buku itu telah mengalami 15 kali cetak ulang dalam bahasa Latin, dan satu kali dalam bahasa Ibrani....Dari abad 12 hingga abad 17, buku itu menjadi panduan utama ilmu kedokteran di Barat, dan masih digunakan di dunia Timur Islam. Dalam ungkapan Dr. Osler, buku itu telah menjadi “kitab suci kedokteran dalam waktu yang lebih lama daripada karya-karya lainnya."”(Baca, Philip K. Hitti, History of The Arabs, edisi terjemahan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, cetakan I Oktober 2008), hlm. 460-461). Apakah buku Ibnu Sina ini juga masih dipelajari dalam dunia kedokteran sampai kini?


Dikisahkan dalam novel ini, Ibnu Sina sejak kecil memang tekun menimba ilmu, bahkan harus berganti-ganti guru dalam waktu tak lama akibat daya belajarnya yang begitu cepat. Ia juga rajin melahap pelbagai literatur. Pada usia 10 tahun, al-Qur’an telah ia kuasai. Ia pun terus mempelajari banyak hal. Terkait hal ini, Prof. DR. Azyumardi Azra, MA pernah menuturkan, “Ibnu Sina tidak sekadar membaca dan menyelidiki ilmu-ilmu. Lebih jauh ia menuliskan apa-apa yang diketahuinya itu, baik dalam bentuk artikel, risalah maupun buku-buku.”(Baca, Prof. DR. Azyumardi Azra, MA., Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan I November 2002), halaman 380).


Dengan membaca novel ini, kita dapat menyaksikan jejak Ibnu Sina sejak kecil sampai meninggal dunia. Penulisan al-Qanun fi at-Thibb oleh Ibnu Sina juga turut diceritakan. Pada dasarnya, Ibnu Sina tak hanya menguasai bidang kedokteran, tapi juga pelbagai disiplin ilmu lainnya. Dalam buku The Spirit of Islam, Syed Ameer Ali berkata, “Ibnu Sina, tak diragukan lagi, merupakan orang paling berbakat pada zamannya. Ia berbakat dalam banyak bidang ilmu dan tulisan-tulisannya bersifat ensiklopedis.”(Baca, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, edisi terjemahan (Yogyakarta: Penerbit Navila, cetakan I 2008), halaman. 435).